Rina Wanita Desa Yang Kecanduan Orgasme

x
0

Berperawakan sedang ukuran rata-rata, tinggi tidak, pendek tidak, jelek nggak, cakeppun ngga, kulit sawo matang cenderung hitam agak berminyak, karena profesi sebagai penarik gerobak postur tubuh menjadi ideal tanpa fitness, maklum seorang penerik gerobak lebih banyak menggunaka otot ketimbang otak, sehingga secara tidak sengaja otot akan terbangun dengan sendirinya.


Jam kerja warto jam 3 sore hingga jam 12 malam melayani para pedagang-pedagang pasar membawa barang dagangan atau pembeli membawa pulang barang belanjaan. Dari sekian banyak langganan warto ada seorang pedagang sayuran dan bumbu dapur bernama Rina yang begitu dekat dengan warto karena kebetulan pangkalan gerobak warto berada didepan counter atau tepatnya lapak dagangan mbok Rina. Hubungan bisnis mereka tergolong dekat sampai-sampai pembayaran ongkos gerobak dibayar bulan oleh mbok Rina.


Mbok Rina berasal dari salah satu desa di indramayu, kulitnya hitam berwajah manis, dengan tinggi sedang tetapi memiliki sepasang buahdada ideal yang sering membuat mas warto melihat dengan sudut matanya, ukuran cukup mantap sekitar 34 atau 35. Telah bersuami bernama mas tarsica yang tinggal dikampung mengurus sawah dan bebek hasil berjualan Rina di kota. Rina pun menyadari kalau Warto sering melirik kepadanya, tetapi dia tidak begitu mempedulikan bahkan cenderung semakin berani mengekspos bagian-bagian tubuhnya yang dapat mengundang hasrat birahi Warto, malah kadang tatapan Warto dan Rina seringkali bertemu yang akhirnya mereka saling senyum tanpa mengerti arti kejadian tersebut.


Pada suatu pagi Warto mendapat telpon dari pamannya di kampung yang mengabarkan bahwa bude Sakem membutuhkan biaya untuk berobat karena sakit. Bude Sakem adalah orang yang menbesarkan Warto ketiga dia ditinggal oleh orang tuanya transmigrasi ke Lampung. Warto memang dekat dengan budenya yang satunya ini karena ia ingin membalas jasa budenya. Warto bingung karena saat ini ia tidak memiliki uang. Uang dikantong hanya cukup untuk makan nanti siang.


Dalam kebingunganya Warto teringat relasinya dipasar yah Rina, ia akan mencoba meminjam uang kepadanya, atau paling tidak ia mencoba meminta bayaran gerobak dimuka sehingga ia dapat segera mengirim uang tersebut kebudenya yang sedang sakit di kampung. Bergegas ia menuju rumah petakan Rina yang terletak di belakang pasar tempat ia berdagang. Kontrakan Rina merupakan rumah petakan kumuh terbuat dari tripleks dan dicet apadanya, rapat dan berhimpatan satu dengan lainnya. Petakan ini memang kebanyakan dihuni oleh sesama pedagang dipasar.


Tidak berapa lama Warto tiba dipetakan Rina, suasana petakan sepi karena jam segini sekitar jam 9 sampai jam 11 kebanyakan penghuni pergi ke pasar induk kramat jati untuk membeli barang dagangan. Warto sedikit cemas, jangan-jangan Rina juga pergi belanja ke pasar induk. Dengan ragu-ragu Warto mencoba mengetuk pintu petakan Rina, sepi tidak terdengar jawaban, kembali Warto menjadi ragu apakah Rina ada di petakan. Ia kembali mencoba mengetuk pintu, tidak juga ada jawaban, ketika Warto mulai merasa putus asa, terdengar suara penghuni sebelah petakan, seorang nenek tua, ibu dari seorang pedagang di pasar yang juga Warto kenal mengatakan bahwa Rina sedang mandi di MCK dekat musola sekitar 25 meter dari petakan Rina.


”Tunggu aja di dalam mas, mbak Rina sebentar lagi juga selesai” ujar nenek tetangga Rina.

”Baik nek, tak tunggu disini aja” jawab Warto dengan logat jawanya yang dihaluskan karena menghormati nenek.


Dengan perasaan galau Warto menunggu Rina, tidak begitu lama Warto menunggu terlihat Rina tergopong berjalan setengah berlari sambil menutupi bagian dadanya yang nampak tercetak dua bukit kembar karena Rina tidak menggunakan handuk melainkan menggunakan daster tidurnya yang telah tipis apalagi setengah basah kena air ketika ia mandi di MCK tadi.


”Weh ada mas Warto, ada apa mas tumben kesini, ada perlu sama aku” Rina nyerocos sambil tetap bejalan menuju pintu petakannya


”Ya.. mbak.. aku ada perlu nih” Rina menyuruh Warto masuk kepetakannya, karena ia tidak enak bicara diluar, ia berpikir tidak mungkin mas Warto pagi-pagi begini kepetakannya kalau tidak ada perlu apalagi Rina melihat wajah Warto tampak sedih.

”Ada apa Mas, sepertinya lagi sedih nih” tanya Rina

”Aku butuh uang Mbak budeku dikampung sakit, beliau minta aku mengirim uang untuk biaya berobat”, mata Warto tidak lepas dari cetakan dada yang amat jelas didada Rina.


Dasar, wong lagi bingung kok matanya tetap ke ”susuku” pikir Rina.


”Sakit apa” Rina mencoba menyakinkan, dengan tidak berusaha lagi menutupi cetakan susunya seperti tadi saat ini berlari dari MCK menuju petakannya.


Pikirnya toh mas Warto sering juga menatapnya pada saat ini berdagang.


”Saya nggak tau, tapi mereka meminta saya mengirim uang untuk berobat, mba boleh saya minta bayaran gerobak untuk bulan depan mbak” dengan setengah menunduk Warto mengungkapkan maksudnya kepada Rina.

”Mas Warto butuh berapa” tanya Rina

”Ya sejumlah bayaran upah saya aja, mba, 185 ribu” jawab Warto dengan masih tetap menunduk.

”Sebentar ya mas” Rina beranjak ke balik hordeng biliknya, entah apa yang akan dilakukan Warto bertanya-tanya


Sejenak Warto dapat menilik benda-benda yang ada di petakan Rina, sebuah termos, 2 buah gelas kaca yang sudah tidak bening lagi, sebuah kasur butut dan radio kecil serta sebuah changer hp masih menempel di stop kontak. Dan apa itu, sebuah BH dan celana dalam yang rendanya mulai terurai benangnya milik Rina tergantung di jemuran di dalam petakan, mungkin malu kalau di jemur di luar. Warto mengenali BH tersebut karena sering digunakan oleh Rina.”Ini mas 200 ribu, aku buletin uangnya, sekalian aku membantu mas yang lagi ketimpa musibah, mudah-mudahnya bude Sakem cepat sembuh” suara Rina mengejutkan Warto yang sedang browsing sekitang petakan Rina.

”Aduh terima kasih mbak” mata Warto bersinar-sinar karena Rina berkenan menolongnya.

”Uang ini saya titipkan pada Yanto, tukang ketoprak tetangga kampungku yang kebetulan nanti sore akan pulang kampung”.


”Ya sudah cepat sana, nanti keburu Yanto tidak ada” ucap Rina

”Tanpa ba-bi-bu Warto segera kerumah Yanto, situkang ketoprak yang akan pulang kampung.

”Yan… ini aku titip buat bude Sakem yang sedang sakit 190 ribu rupiah, yang 10 ribu untuk nambahin ongkos kamu, sekalian salam dan katakan aku belum bisa pulang ”Adalah menjadi kebiasaan dilingkungan Warto, saling menitip uang apabila ada seorang kerabat, tetangga kampung atau teman yang akan pulang kampung. Warto juga telah beberapa kali dititipi oleh Yanto. Memang mereka tidak mengenal adanya transfer uang lewat bank.

”Baik nanti aku sampaikan To… wis kamu ndak usah bingung, semoga nggak ada apa-apa” ucap Yanto.


”Terima kasih To..hati-hati ya.” Warto berucap sambil permisi kepada sahabatnya yang telah berkenan menerim titipan uang darinya untuk bude yang sedang sakit dikampung.

Kembali terbayang wajah bude Sakem, wajah yang teduh dan rela mengurus dan menganggapnya sebagai anak, wajah yang penuh kedamaian. Bagiamana budenya mengajarnya setiap malam, bagaiamana budenya menemani saat ia makan, semua kembali terbayang. Tapi karena faktor usia, saat ini beliau sedang tergolek lemah di kampung.


Tiba-tiba ingatannya kembali ke Rina, ia belum mengucapkan apapun kepadanya apalagi terima kasih setelah ia menjadi dewa penolong baginya. Warto kembali menuju petakan Rina, untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongan yang telah ia berikan.


Tidak berapa lama Warto telah tiba dimuka petakan Rina, Warto langsung menyeruak masuk tanpa mengetuk lebih dulu. Terbelalak Warto melihat pemandangan yang nampak di dalam, saat itu Rina sedang mengeringkan badannya dengan daster tipis sebagai pengganti handuk. Rina hanya menggunakan handuk untuk menutupi kemaluannya, sedangkan dua buah bukit kembarnya tertutup BH warna putih cenderung sudah menjadi cream yang tampaknya tidak dapat menampung isinya. Warto tidak pernah membayangkan kalau payudara Rina begitu indahnya besar, putih dan masih seperti orang belum bersuami, mungkin karena jarang disentuh oleh suaminya


Mereka berdua terkesima, Warto terbelalak menyaksikan pemandangan tersebut sedangkan Rina hanya diam seribu basa karena tidak tau apa yang harus dilakukannya.


Tiba-tiba kedua mata mereka saling bertemu satu dengan yang lainnya, saling bertatapan dengan tetap tanpa suara, saat itu naluri sebagai manusia yang bicara, Warto mendekat sementara Rina masih tetap diam tanpa bahasa, sementara bibir Warto mulai mendekat bahkan dekat sekali ke kening Rina.

.

Rina merasakan hembusan birahi Warto, akhirnya ia merasakan sebuah ciuman lembut mendarat dikeningnya, ia memejamkan mata tak tau harus menikmati atau apa yang harus dilakukan sementara, karena lembutnya kecupan Warto, birahinyapun mulai terusik, apalagi setelah kecupan Warto turun ke pipi kemudian terus turun menelusur hingga sampai pada bibirnya.


Hangat sekali kecupan Warto, kecupan yang memang telah lama tidak ia rasakan, lidah Warto lincah bermain di dalam mulutnya yang mau tidak mau mengundang hasratnya untuk melayani permainan lidah dan bibir Warto.


Tangan kanan Warto mulai menelusuri bagian belakang Rina yang memang tidak terbungkus apa-apa hanya seutas tali BH yang masih menggantung disana, diusapnya lembut pinggung dan pantat Rina, kemudian tangan kirinya mulai menelusur diperut Rina sehingga menimbulkan sensasi yang tidak terkira bagi pemiliknya


Ehhhh…………..Rina berguman menikmati usapan dan belaian serta kecupan bibir Warto, ditambah lagi tangan kiri Warto semakin mendekati dua bukit kembar miliknya yang masih terbungkus BH, sensasi yang dirasakan semakin nikmat. Tangan kanan Warto naik dari pantat menuju pengait tali BH Rina dan dengan sentuhan halus, BH itu sudah terlepas dan meluncur turun sampai tertahan oleh handuk penutup kemaluan Rina.


Tampaklah oleh Warto dua bukit kembar milik Rina yang kini bebas menggantung tanpa penghalang. Warto semakin bersemangat dari semula mengusap, membelai kemudian kini sudah sampai pada tahap meremas, apa saja yang ia remas pantat, perut, pinggul hingga payudara Rina tidak luput dari remasannya. Hal ini semakin memuat Rina tidak berdaya, ia benar-benar dimabuk nafsu yang dibangkitkan oleh Warto seorang penarik gerobak langganannya. Ia tidak ingat lagi suaminya dikampung, ia lupa segalanya.


Sedikit demi sedikit Warto mendorong tubuh Rina ke arah kasur butut milik Rina yang hanya menurut saja oleh dorongan tubuh Warto hingga ia menurunkan tubuhnya dan duduk dikasur. Warto mengikuti gerakan Rina menuju tempat tidur mulutnya kini bermain lincah memainkan puting susu Rina. Seakan tidak puas hanya mengecup dan mengisapnya tanggan kirinyapun ikut membantu meremas-remas bukit kembar milik Rina.


Dengan dorongan Warto kini tubuh Rina sudah tergolek dikasur tanpa penutup dada hanya handuk yang tidak mampu lagi menutupi kemaluannya karena tersingkap oleh gesekan-gesekan tubuh mereka.


Kebiasaan Rina, sehabis mandi ia hanya menggunakan handuk sebagai penutup barang miliknya yang paling berharga tanpa celana dalam, sedangkan bagian dada hanya dibungkus BH (mending BH-nya bagus). Kebiasaan berpakaian seperti ini kerap ia lakukan sambil beraktivitas di petakannya.


Kebiasaan seperti ini memudahkan Warto untuk melakukan aksinya. Kembali ia mengecup bibir Rina yang memang sudah menunggu aksi Warto berikutnya. Gejolak birahi yang dirasakan segera menghempas segalanya. Statusnya sebagai istri dari Tarsica seorang petani dan pemelihara bebek di kampung tidak lagi ia ingat. Apalagi tangan kanan Warto mulai membuka handuk lusuh satu-satunya yang masih ia kenakan sebagai penutup kemaluannya.


Dengan sekali tarik, tampaklah oleh Warto kemaluan Rina dihadapannya, rambut kemaluan yang tebal berwarna hitam tampak acak-acakan tak terawat menutupi bibis vagina milik Rina. Pantulan cahaya matahari yang menerobos lewat celah dinding petakan Rina membantu memberikan penerangan bagi Warto untuk sejenak mengamati kemaluan Rina. Ia kagum dengan Rina kemaluan Rina yang tampak menonjol persis kue apem yang adonananya sempurna.


Rina agak risik melihat Warto memandang vaginanya seperti hendak melihat seluruhnya, tak habis akal tangan Rina mengapai tonjolan diselangkangan Warto yang memang sejak tadi menuntuk untuk dijamah, sejenak Warto terhenyak sejenak ketika tangan Rina mendarat dikemaluannya, namun hal itu tidak terlalu lama, karena kenikmatan dan sensasi yang ia rasakan amatlah menghanyutkan, apalagi Rina mulai mencoba memasukkan tangannya kedalam celana Warto. Warto tak sabar segera ia memelorotkan celana sekaligus CD-nya, agar kenikmatan yang ia rasakan semakin terasa. Kaos berlambang salah satu Caleg Partai tertentu yang ia gunakan juga tak luput ia lepaskan

Tampaklah oleh Rina tubuh hitam, kekar karena sering menarik gerobak sayur milik Warto mengkilap karena keringat dan torehan cahaya matahari.


Belum hilang rasa kagum Rina terhadap kekekaran tubuh Warto, ia merasakan sesuatu menyentuh kemaluannya, yah tangan Warto mulai mengusap rambut kemaluan Rina yang tidak mengyangka bahwa seorang penarik gerobak mempunyai gaya bercinta yang romantis tidak seperti suaminya dikampung, cek-ecek-ecek sudah boro-boro ada pemanasan, terlalu terburu-buru, maklum katanya ia harus melihat aliran air disawah, apakah bendungan yang ia buat dapat mengalir keseluruh bagian sawahnya dengan sempurna. Jangankan orgasme bagi Rina terkadang terangsang pun belum. Lain halnya dengan Warto yang rada sabaran dalam memacu birahinya.


Tidak puas hanya dengan membelai Warto mulai menusuk-nusukan jari manisnya kevagina Rina yang telah basah oleh cairan birahinya, hangat dan licin yang dirasakan Warto. Ehh…ehh…Rina meracau merasakan kenikmatan sentuhan tangan Warto ke dalam kelaminnya. Warto terus beraksi hingga ia tak tega melihat Rina meracau tidak menentu, mengelengkan kepalanya kekanan dan kekiri karena nikmatnya, apalagi tangan Rina beraksi dikemaluan Warto mulai tidak menentu kadang mengusap kadang menggosok kadang memencet.


Disamping itu birahi Wartopun telah meninggi, akhirnya entah siapa yang memulai Warto yang semangat menindih tubuh Rina, atau Rina yang tak sabar menarik tubuh Warto untuk segera menindih dan memasukkan alat kelaminnya kedalam kemaluannya. Tangan Rina tetap dikemaluan Warto untuk segera membimbingnya menuju lubang vaginanya, Sejenak Warto menggosok-gosokkan kemaluan miliknya ke vagina Rina.


Rina mengangkat pantatnya tinggi-tinggi, Warto menusukkan kemaluannya… blesss…blesssssssssssss…Rina menggit bibir merasakan kenikmatan kemaluan Warto meluncur kekemaluannya yang memang telah lama tidak dijamah oleh suaminya karena ia lama tak pulang kampung. Biasanya sebulan dua kali atau tiga kali ia pulang, tapi sudah dua bulan ini ia belum dapat pulang kampung, karena pasar sedang ramai menjelang pemilu.



Hampir seluruh kemaluan Warto membenam di vagina Rina, sejenak mereka terdiam, masing-masing merasakan nikmatnya bersenggarama. Bagi Warto ini adalah kenikmatan yang tak terhingga yang pernah ia rasakan, karena selama ini paling-paling hanya sabun mandi, tetapi karena telah beberapa kali menonton film biru bersama-teman sesama penarik gerobak, atau pengalaman mengintip tetangga disekitar tempat ia mengontrak rumah dan karena nalurinya ia dapat menjalankan peran dengan baik.


Selang beberapa saat mulailah Warto menaik-turunkan tubuhnya menindih tubuh Rina, bunyi kecipak karena beradunya kelamin mereka dan dengusan nafas keduanya semakin menambah sensasi bagi mereka. Suasana pagi menjelang siang, dimana matahari nampak mulai meninggi semakin menambah suhu didalam petakan Rina dan sekaligus menambah gejolak birahi mereka. Memang seputar petakan Rina pada jam-jam seperti ini terasa lebih sepi, karena sebagian besar anak-anak sedang bergelut dengan kegiatan sekolah, sementara orang tua mereka yang kebanyakan para pedagang dipasar, sedang belanja barang daganganya, paling-paling hanya beberapa anak yang belum sekolah yang tinggal dirumah atau sperti nenek tadi yang memberi tahu Warto bahwa Rina ada di dalam petakannya.


Mas…mas..mas… ehm..ehh..ehh desahan Rina semakin tidak menentu, hal ini semakin memacu birahi Warto, dari pelan kemudian sedang kemudian cepat secara berulang-ulang Warto menghujamkan kelaminnya kedalam vagina Rina. Uhg..uhg..mba..mba..Warto mulai menimpali desahan Rina diiringi dengan dengus nafasnya laksana banteng ketaton.


Terasa oleh Warto Rina mengangkat tubuhnya semakin tinggi dan gerakan kepalanya kekiri dan kekanan semakin cepat ditambah lagi dengan desahannya yang semakin tidak menentu, menandakan puncak birahinya akan segera tercapai. Mas…mas..aku..aku..ahhhhhhhhh. akhirnya meletuslah lahar birahi kenikmatan Rina. Kedua tangganya menarik kencang tubuh Warto agar menghimpit tubuhnya sambil menjerit perlahan menandakan kenikmatan yang tiada terkira.


Sementara Warto juga mulai merasakan hasratnya akan segera terpenuhi, dengan kecepatan maksimal ia mamacu menaikturunkan tubuhnya menindih tubuh Rina yang nampak tak berdaya setelah mengalami orgasme. Keringat mengucur deras hari tubuh hitamnya eh..eh..ehhhhh aku keluar mba…ahhhh. Tak terbayangkan nikmat yang dirasakan Warto, terasa dari ujung jari kaki sambil keubun-ubun ia rasakan, sejenak ia terdiam dengan tetap menindih tubuh Rina yang juga ikut menikmati semburan sperma Warto di rahimya. Nafas Warto tidak menentu, seluruh tenaganya terkuran diakhir permainan tadi.


Keduanya nampak terkulai lemas, setelah menikmati permainan mereka, Rina nampak terdiam sementara Warto tidak tau apa yang harus ia ucapkan. Akhirnya keduanya tertidur dengan tubuh masih telanjang tanpa sehelai benangpun.


Narte…Narte….Narte…sayup-sayup Rina mendengan seorang memanggil namanya, antara sadar dan tidak sadar sperti bermimpi. Narte…Narte….Narte kembali terdengan suara panggilan dengan logat Batak yang kental, keduanya terbangun Rina tersentak begitu juga dengan Warto.


Setelah berulang kali barulah Rina bangun membuka pintu petakan tempat tinggalnya, dengan pakaian sekenanya, yaitu kain jarik panjang yang biasa digunakan untuk membawa dagangannya, rupanya si Butet yang datang hendak menagih uang cicilan yang harian utang Rina kepadanya. Butet layaknya bank keliling dipasa tempat Rina berdagang, ia meminjamkan sejumlah uang kepada para pedangan dan dicicil setiap hari, minggu atau bulan tergantung perjanjian, jangan tanya soal besaran bunga, pasti lebih besar dari bank, tapi para pedangan lebih suka ke si Butet ketimbang ke Bank, karena prosedur mudah, cepat dan tidak perlu KTP, KK dan Slip Gaji (he..he.. pengalaman kredit di bank nih).


Ia menyodorkan uang Rp. 15.000 kepada si Butet.

”Siang-siang begini rupanya tidur kau” seru Butet masih dengan logat yang Batak yang kental.


Rina hanya tersenyum sambil kembali menutup pintu, meninggalkan kebingunan Butet.


”Bah…malas kali kau rupanya” omel Butet.


Lain hal dengan Rina, sejenak ia kembali ketempat mereka bertempur tadi, dikasur tipisnya tidak lagi ia temui Warto, tetapi hanya sebuah kaos kucel dan kusut berlambang caleg masih, kemanakah gerangan Warto. Belum hilang kebingungan Rina, Warto muncul dari belakang lemari plastik bergambar kembang yang sudah bolong disana-sini milik Rina. Rupanya Warto bersembunyi disana saat tadi si Butet datang, ia takut kalau-kalau butet melihatnya sedang berada di patakan Rina, pasti kacau urusan.


Rina memandang Warto yang muncul dari balik belakang lemari dengan pakaian setengah telajang dan menyadari kondisi tubuhnya yang masih tanpa mengenakan penutup kecuali jariknya. Barulah ia sadar akan apa yang terjadi, ia telah menghianati suami, telah menyerahkan sesuatu yang seharunya hanya ia berikan kepada suaminya tidak kepada Warto, menunduk ia sambil menangis.


Sementara Warto tidak tau apa yang harus dilakukan,


”maafkan aku mbak…maafkan aku, hanya itu yang keluar dari mulut Warto. Rina masih saja tertunduk sambil menangis, keduan tangannya diletakkan diatas pahanya. ”Kamu nggak salah Warto, aku yang salah”. Keduanya kembali terdiam.


Warto mencoba kembali menbangun kekakuan suasana dengan mendatangi Rina dan membelai rambutnya, lembut sekali warto melakukan itu, berulang-ulang tangannya mengusap rambut Rina, pundak dan belakang tubuh Rina yang duduk menggeloso dilantai.


”aku minta maaf mba” sekali lagi Warto berucap lirih.


Rina menjatuhkan kepalanya didada Warto sambil mengangkap kepalanya dan berucap sama sperti yang ia ucapkan tadi.


”Kita sama-sama bersalah Warto” tambahnya.


Seksi sekali bibir Rina saat mengucapkan itu dimata Warto, ingin sekali ia mengecup bibir seksi itu, tapi ia masih ragu karena Rina masih menenteskan air mata. Sementara belaian tangan warto di kepala pundak dan belakang tubuhnya kembali mengusik birahi Rina yang memang sudah lama tidak tersentuh suaminya. Setan terus menggoda membisikkan kata-kata birahi kepada keduanya.


Akhirnya Warto tak tahan dengan suasana dengan yakin ia mengecup bibir Rina, apalagi ia merasakan ada reaksi di bibir dan tubuh Rina, Warto semakin berani usapan pada tubuh bagian belakang belakang sampai kebelakang telinga, mau tidak mau membangkitkan kembali hasrat seksual Rina, ia sedikit beringsuk kekiri meluruskan tubuhnya hingga berhadap-hadapan dengan Warto sambil tetap menerima rangsangan dari bibir Warto, tangannya mulai mencari apa yang seharusnya ia lakukan, mencari sesuatu diselangkangan Warto yang memang sudah kembali terbangun dan siap beraksi.


Tegang dan keras serta mengkilap dibagian kepala sesaat ia mencuri pandang saat Warto mengecup bibirnya. Warto agak terkejut dan sedikit mengangkat pantatnya manakala tangan Rina menyentuh kelaminnya. Kini kecupannya tidak lagi di bibir Rina tetapi sudah kepipi kemudian turun keleher dan sampailah pada bagian atas dada Narto, terus turun diantara dua bukit kembar milik Rina, tangan kirinya menggapai buah dada Rina sebelah kiri sementara mulutnya mengecup halus puting susu Rina sebelah kanan sambil menjilat dan mengigit secara lembut.



Rina mendorong tubuhnya kemuka sementara tangan kirinya merapatkan kepala Warto dan menyodor kedua payudaranya. Tenggelam wajah Warto di dada Rina, sementara tangan Rina semakin keras mengenggam penis Warto sambil turus menaik-turunkan tangannya mengusap dan mengocok penis Warto. Beberapa lama aksi ini mereka lakukan, hingga akhirnya terdengar suara Rina


“mas…mas…mas Warto sekarang, aku nggak tahan”. Narto menrorong tubuh Rina ke kasur tipis dengan kepalanya tetap payudara Rina, yang mengikuti gerakan Warto menidurinya.


Penis Warto yang sudah menegang maksimal sementara vagina Rina telah basah kuyup sejak sesekali tangan Warto menjamahnya, mudah bagi Warto memasukkan penisnya ke vagina Rina, hangat ia rasakan menjalar dibatang kelaminnya. Sejenak berhenti, kemudian maju dan mundur secara berirama Warto menggenjot Rina. Sementara Rina begitu menikmatinya, kain jarik menutup tubuhnya tadi sudah tak tahu entah kemana, nikmat sekali ia rasakan sodokan Warto dikelaminnya, terus…terus…terus…ahh..ahh, ia mendesah tak teratur.


Birahi yang dibangkitkan Warto melalui penis, kecupan pada bibir dan payudara serta usapan pada belakang telinga dan bisikan-bisikan mesra yang diucapkan Warto membuat Rina semakin mendekati puncak kenikmatan, ahh..ahh..ahhh..aku mau ssssaampaai..terusssss, makin tidak karuan ucapan Rina. Hingga akhirnya meledaklah birahi Rina diiringi dengan semakin maksimalnya hujaman-hujaman penis Warto yang juga akan sampai pada puncaknya.


Ahhhhhhh ….bersamaan mereka mencapai hasrat birahinya, nafas kedua memacu tak karuan sementaram keringat mengucur dari kedua tubuh mereka, Warto masih menindih tubuh Rina, ketika ia sadar bahwa ia harus segera bekerja manarik gerobak sayurnya, sementara Rina juga tersadar bahwa ia harus segera kelapak dagangnya. Akhirnya waktu menghentikan pertempuran mereka sebelum keluar dari petakan Rina, Warto masih sembat mengecup bibir dan mengusap payudara Rina. Sementara Rina terseyum sambil memegang kedua payudaranya menyuguhkan kepada Warto seakan menantang.


Sejak kejadian itu mereka, beberapa kali kembali mengulanginya setiap ada kesempatan, kadang di petakan Rina, kadang ditempat Warto, bahkan mereka pernah melakukannya di rel kerata api dilakang pasar tengan tetap berpakaian.


Pernah suatu ketika hasrat Rina begitu menggebu, kebetulan pasar sudah mulai sepi karena sudah jam 1 dini hari, ia mengirim pesan pendek kepada Warto untuk segera menjumpainya ditempat ”biasa”…


Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)